Interelasi
Nilai Islam dalam bidang wayang dan gamelan dengan Kebudayaan Jawa Arsitektur
Oleh
:
Intan
nurif’ata (1604046028)
Muhammad
hanafi (1604046029)
Nirmala
fajarsari (1604046031)
Afif
ansori (1604046032)
ABSTRAK
Sejak islam
masuk di jawa, islam bertemu dengan nilai-nilai hindu budha yang sudah mengakar
kuat di masyarakat. Tentu saja nilai-nilai dari hindu budha sebelumnya telah
mengakomodasi nilai religi animisme dan dinamisme sebagai nilai yang telah ada.
pencampuran nilai tersebut yang kemudian disebut sebagai nilai-nilai kebudayaan
jawa. Budaya jawa memiliki berbagai macam ragam kesenian yang masih menyangkut
terhadap kepercayaan dalam beragama.
Interelasi
antara agama dan budaya pada suku Jawa dapat dilihat dari sejarah Islam di Jawa
yang telah berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang
menarik dicermati, dan terjadi dialog budaya antara budaya asli Jawa dengan
berbagai nilai yang datang dan merasuk ke dalam budaya Jawa. Penting memahami
interpretasi Islam Jawa pada bidang arsitektur, gamelan dan wayang. Arsitektur
(secara fisik) menunjukan keberadaan perkembangan budaya suatu daerah. Misalnya
tata ruang kota, bangunan ibadah, makam. Gamelan menunjukan perkembangan
penyebaran yang menggunakan seni music sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan
masyarakat jawa.
Kata kunci
: interelasi, wayang, gamelan, arsitektur, makam.
PENDAHULUAN
Dakwah
para wali dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam
segala cabang kebudayaan hasilnya sangat memuaskan, sehingga agama Islam
tersebar ke seluruh pelosok wilayah Jawa. Musik
sebagai karya
manusia juga tidak
dapat dilepaskan dari latar belakang budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk yang
paling sederhana, dipahami bahwa
melalui musik,
pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran,
daya
cipta dan perasaannya, dan
melalui musik pula orang
dapat menghargai keindahan
dan memperoleh ketenangan. Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat musik yang
menjadi
salah satu objek penting dalam lingkup pembicaraan musik di
antara ribuan alat musik lain yang terdapat
di dunia. Perkembangan
wayang dan gamelan dan alat musik
lainnya di Jawa
pada masa lampau
dapat ditemukan pada
relief candi,
prasasti, dan beberapa piagam kuno
lainnya.
Sedangkan
arsitektur islam adalah arsitektur yang berangkat dari pemikiran islam. Inti
dari ajaran islam adalah al-qur’an dan al-hadist, dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa arsitektur islam juga memiliki inti yang sama. Dalam kategori
ini arsitektur islam yang dimaksud terkait dan terikat dengan suatu zaman atau
periode tertentu atau kaum tertentu, jadi dapat dikatakan arsitektur islam
adalah abadi dan borderless atau tidak terbatas pada daerah tertentu bagi kaum
tertentu.
Bentuk
dakwah yang dilakukan oleh para wali (pada era Demak), dan era Mataram Islam
dengan pendekatan budaya pada akhirnya mampu menanamkan nilai - nilai Islam ke
dalam masyarakat Jawa tanpa mereka harus tercerabut dari basis kebudayaannya.[1]
Oleh sebab itu, pada saat Islam masuk di Jawa, arsitektur Jawa itu tidak dapat
dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa,
maka simbol – simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang
kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua
kebudayaan dan sekaligus sebagai pangkuan akan keberadaan keunggulan Muslim
Jawa dalam karya arsitektur. Begitu pula proses kesenian gamelan sebagai media
transformasi nilai-nilai pendidikan agama Islam pada masyarakat ialah dengan
cara menggunakan kesenian gamelan yang dulunya sebagai pengiring hiburan
masyarakat, saat ini digunakan sebagai pengiring shalawatan dan syair-syair
yang mengandung nilai-nilai pendidikan agama Islam, nilai-nilai pendidikan
agama Islam yang ditransformasikan melalui media kesenian gamelan ialah: nilai
pendidikan aqidah, nilai pendidikan ibadah, dan nilai pendidikan akhlak.
Sejarah gamelan pada masa
Hindu
Jawa tersebut (abad VIII
hingga abad
XI)
hanya memberikan
sedikit keterangan secara
visual dan
tidak
dapat memberikan keterangan yang
akurat, demikian juga pada
aktivitasnya.
Kesenian gamelan merupakan salah satu kesenian masyarakat Jawa yang sudah ada
sejak lama, dengan berbagai alat musik seperti kendang, kempul, dan gong.
Dan untuk sejarah peradaban agama islam,
masjid pun dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam islam, yakni dengan
dibangunnya masjid quba oleh Rasulullah saw sebagai masjid yang pertama. masjid
quba ini merupakan karya spontan dari masyarakat muslim di madinah pada waktu
itu. bangunan masjid quba disebut para ahli sebagai masjid arab asli. Namun
kiranya, arti lebih luas adalah bahwa masjid quba telah menampilkan dasar pola
arsitektur masjid yang lebih mengedepankan makna dan fungsi minimal yang harus
terpenuhi dalam bangunan sebuah masjid.[2]
Sementara itu, sebelum islam masuk di
jawa masyarakat jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni
arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli jawa maupun jenis bangunan
seperti makam, candi keraton, benteng, meru, rumah joglo, tata wayang pada
rumah, dan padepokan. Oleh karena itu, ketika islam masuk di jawa arsitektur
jawa tidak dapat dinafikkan oleh islam. Jadi, agar islam dapat diterima sebagai
agama orang jawa, maka simbol-simbol islam hadir dalam bingkai budaya dan
konsep jawa, sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan sekaligus sebagai
pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim jawa dalam karya arsitektur.
Dari penjelasan diatas gamelan dan
arsitektur memiliki macam jenisnya. Seperti halnya gamelan. Gamelan memiliki
macam – macam jenis sebagai berikut:
1. Gamelan
kromong merupakan seni kesenian jenis goong renteng yang lebih dikenal oleh
Cikubang Sumedang adalah gambang kromong. Yang dijadikan sebuah sarana ritual
untuk menghormati atau memuja Dewi Sri, agar pertanian selalu subur dan tidak
mengalami kegagalan. Ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat setempat dan
tanggal 14 Maulid. Gambang kromong wajib dilestarikan karena memiliki nilai
kearifan yang patut diwariskan, seperti gotong royong, kerja kolektif,
kerjasama, tanggung jawab, toleransi dan menghargai orang lain.
2. Gamelan
Sekaten yang digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di Jawa diduga
kuat memiliki nilai-nilai atau unsur-unsur Islam dalam perangkat tersebut yaitu
sebagai salah satu kegiatan dari upacara ritualnya. Strategi dakwah dengan
menggunakan gamelan Sekaten yang memiliki suara nyaring dan keras, bentuk fisik
yang jauh lebih besar dari gamelan biasa, diperkirakan sangat menarik dan
efektif untuk mengumpulkan orang
Banyak arsitektur jawa yang bercorak islam, dimana
terjadi asimilasi diantara kedua kebudayaan, diantaranya :
1. Masjid
Masjid sebagai
tempat yang secara khusus untuk beribadah kepada Allah SWT, mempunyai nilai
yang sangat tinggi bagi umat Islam. Masjid juga digunakan untuk berdoa dan
memohon kepada Allah atas segala sesuatu yang menjadi keinginan serta tujuan
manusia.
Di berbagai tempat dimana Islam tumbuh, masjid telah
menjadi bangunan penting dalam syiar Islam. Masjid dijadikan sebagai sarana
penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua
unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam
yang terpaterai oleh ajaran Islam dan kebudayan lama yang telah dimiliki oleh
masyarakat setempat.[3]
Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan
manifestasi keyakinan agama seseorang.Oleh karena itu, tampilan arsitektur
Islam tidak lagi hanya pada masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya
fisik yang lebih luas.
2.
Makam
Di Jawa makam merupakan salah satu tempat
yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari
corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya
ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, atau makam Maulana
Malik Ibrahim di Gresik, dll.
Adapun untuk penempatannya ada yang
menyatu dengan komplek masjid seperti sunan Kudus, makam Raden Patah. Bangunan
makam Sunan Kudus yang arealnya dikelilingi bangunan yang berlapis-lapis
mengingatkan kita pada bentuk bangunan kedhaton pada keraton jaman kerajaan
Hindu dengan lawang korinya. Tampilnya berbagai seni hias dan stereotipe candi
pada beberapa makam di Jawa menunjukkan adanya bukti interelasi budaya Jawa dan
Islam dalam arsitektur makam.
Berikut terdapat tradisi penguburan
jenazah yang didasarkan pada hadits Nabi:
a.
Kuburan lebih baik
ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui (HR. Baihaqi)
b.
Membuat tanda kubur
dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR. Abu Daud)
c.
Dilarang menembok
kuburan (HR. Tirmidzi dan Muslim)
d.
Dilarang membuat tulisan
diatas kubur (HR. An-Nasa’i)
e.
Dilarang membuat
bangunan diatas kubur (HR. Ahmad danMuslim)
f.
Dilarang menjadikan
kuburan sebagai masjid (HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Tata Ruang Kota di Jawa
Sebagai
kerajaan Islam di Jawa, Mataram yang merupakan kelanjutan dari penguasa
kerajaan sebelumnya (Hindu Majapahit) memiliki tata bangunan kota yang sangat
dipengaruhi oleh nilai lokal yang telah ada, dan tata nilai baru yang dibawa
oleh Islam.
Dalam
pemikiran Jawa, Keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan didalam
keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warga
masyarakat keraton dengan jagat raya itu. Dengan demikian, maka bangunan itu
merupakan lambang yang penuh dengan arti. Pengaturan bangunan dilakukan dengan
pola tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis, diapit oleh dua lainnya,
yang terletak didepan dan dibelakangnya atau kanan dan kirinya. Pengapitan itu
dapat berjumlah empat atau delapan yang ditempatkan sesuai dengan arah mata
angin.
Konsep
tata ruang seperti ini mengingatkan kepada penguasa/adipati/raja serta rakyat,
bahwa rakyat harus taat kepada ulil amri dan ulil amri harus taat kepada Allah
SWT serta memegang teguh amanat Allah SWT, dan kedunya harus sama – sama
mengabdi dan beribadah kepada Allah dengan melakukan sholat.
Nilai-nilai
pendidikan agama Islam yang ditransformasikan melalui media kesenian gamelan,
arsitektur. Nilai-nilai pendidikan agama Islam tersebut disampaikan melalui
kegiatan latihan dan pementasan kesenian shalawat yang diiringi alat musik
gamelan, melalui perangkat gamelan itu sendiri, dan juga melalui syair - syair
Islami yang dibawakan di masjid – masjid tempat walisongo menyebar agama islam.
4.
Interelasi islam
dalam wayang
Secara harfiah, kata wayang, berasal dari bahasa
Jawa
yang artinya Bayangan.
Lebih lanjut
lagi wayang adalah rerupan sing kedadeyan saka barang sing ketaman ing sorot (pepadhang)1. ‘bayangan yang terjadi karena adanya sorot cahaya. Dalam
pertunjukan wayang yang dilihat hanya bayang-bayangnya saja, inilah yang menyebabkan istilah wayang, permainan bayangan.
Wayang merupakan salah satu
bentuk seni budaya tradisional bangsa Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang selama lebih dari1000 tahun .
Bukti arkeologis bahwa wayang telah
berkembang selama itu adalah dengan ditemukannya sebuah prasasti
peninggalan Raja Balitung (899 – 911 M) yang berisi kisah
Bima Kumara (ceritera
tentang Bima
di masa muda), dalam teks kuno
tersebut juga disebutkan cerita seorang Dalang beserta upah yang
diterimanya. Hingga saat ini seni pertunjukan wayang masih tetap berkembang, terutama
di wilayah pedesaan.
Cerita
dalam wayang tumbuh dan berkembang
melalui jalur lisan dan tulisan. Melalui
jalur lisan wayang disebarkan
oleh
para dalang dan orang-orang
tua yang tahu banyak tentang wayang. Sementara melalui jalur tulisan wayang berkembang melalui berbagai serat seperti misalnya Serat Pakem Ringgit Purwa2. Sekitar 40 macam wayang terdapat di Indonesia, terutama Pulau Jawa. Bermacam-macam wayang
tersebut
dibedakan menurut carta
pementasannya, cerita
yang
dibawakan, dan
menurut bahan yang digunakan untuk
membuatnya. Sebagai contoh wayang
beber adalah wayang yang cara
mementaskannya
dibeber atau dipaparkan karena terbuat dari lembaran kain. Wayang gedhog adalah wayang yang pada pementasannya membawakan cerita Panji, sedang wayang golek atau

Wayang purwa memiliki
peran penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, wayang dipandang bukan sebagai hiburan semata, namun juga kaya akan
nilai
kehidupan luhur yang memberi suri tauladan. Wayang dianggap menunjukkan gambaran tentang watak jiwa
manusia. Orang Jawa gemar mengidentifikasikan diri mereka dengan
tokoh wayang
tertentu dan bercermin serta
mencontoh padanya dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Donny Khoirul, AKULTURASI ISLAM
DAN BUDAYA JAWA. Journal, STAIN
Purwokerto
Resi , Maharsi, Islam Melayu VS Jawa
Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Amin, Darrori, Islam dan
Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002
Liauw Yoek
Fang dalam Teguh. Moral Islam dalam Lakon Bima Suci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Marsono. Sunan Kalijaga
Ulama Besar Abad
Ke 15-16
dalam Jurnal Dakwah No.2 th. II, Januari – Juni 2001. Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2]Maharsi Resi, Islam Melayu VS Jawa
Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm.188
[3]Darrori Amin, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002, hlm.187
5 ibid
[6]
Marsono. Sunan Kalijaga
Ulama Besar Abad
Ke 15-16
dalam Jurnal Dakwah No.2 th. II, Januari – Juni 2001. Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar