Selasa, 20 Juni 2017

Tugas ibj 2017



Interelasi Nilai Islam dalam bidang wayang dan gamelan dengan Kebudayaan Jawa Arsitektur
Oleh :
Intan nurif’ata                       (1604046028)
Muhammad hanafi               (1604046029)
Nirmala fajarsari                  (1604046031)
Afif ansori                              (1604046032)
ABSTRAK
Sejak islam masuk di jawa, islam bertemu dengan nilai-nilai hindu budha yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Tentu saja nilai-nilai dari hindu budha sebelumnya telah mengakomodasi nilai religi animisme dan dinamisme sebagai nilai yang telah ada. pencampuran nilai tersebut yang kemudian disebut sebagai nilai-nilai kebudayaan jawa. Budaya jawa memiliki berbagai macam ragam kesenian yang masih menyangkut terhadap kepercayaan dalam beragama.
Interelasi antara agama dan budaya pada suku Jawa dapat dilihat dari sejarah Islam di Jawa yang telah berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang menarik dicermati, dan terjadi dialog budaya antara budaya asli Jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk ke dalam budaya Jawa. Penting memahami interpretasi Islam Jawa pada bidang arsitektur, gamelan dan wayang. Arsitektur (secara fisik) menunjukan keberadaan perkembangan budaya suatu daerah. Misalnya tata ruang kota, bangunan ibadah, makam. Gamelan menunjukan perkembangan penyebaran yang menggunakan seni music sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan masyarakat jawa.
Kata kunci : interelasi, wayang, gamelan, arsitektur, makam.


PENDAHULUAN
Dakwah para wali dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan hasilnya sangat memuaskan, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh pelosok wilayah Jawa. Musik sebagai karya manusia juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk  yang paling sederhana, dipahami bahwa melalui musik, pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran, daya cipta dan perasaannya, dan melalui musik pula orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan. Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat musik yang menjadi salah satu objek penting dalam lingkup pembicaraan musik di antara ribuan alat musik lain yang terdapat di dunia. Perkembangan wayang dan gamelan dan alat musik lainnya di Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa piagam kuno lainnya.
Sedangkan arsitektur islam adalah arsitektur yang berangkat dari pemikiran islam. Inti dari ajaran islam adalah al-qur’an dan al-hadist, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa arsitektur islam juga memiliki inti yang sama. Dalam kategori ini arsitektur islam yang dimaksud terkait dan terikat dengan suatu zaman atau periode tertentu atau kaum tertentu, jadi dapat dikatakan arsitektur islam adalah abadi dan borderless atau tidak terbatas pada daerah tertentu bagi kaum tertentu.
Bentuk dakwah yang dilakukan oleh para wali (pada era Demak), dan era Mataram Islam dengan pendekatan budaya pada akhirnya mampu menanamkan nilai - nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa tanpa mereka harus tercerabut dari basis kebudayaannya.[1] Oleh sebab itu, pada saat Islam masuk di Jawa, arsitektur Jawa itu tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol – simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pangkuan akan keberadaan keunggulan Muslim Jawa dalam karya arsitektur. Begitu pula proses kesenian gamelan sebagai media transformasi nilai-nilai pendidikan agama Islam pada masyarakat ialah dengan cara menggunakan kesenian gamelan yang dulunya sebagai pengiring hiburan masyarakat, saat ini digunakan sebagai pengiring shalawatan dan syair-syair yang mengandung nilai-nilai pendidikan agama Islam, nilai-nilai pendidikan agama Islam yang ditransformasikan melalui media kesenian gamelan ialah: nilai pendidikan aqidah, nilai pendidikan ibadah, dan nilai pendidikan akhlak.
Sejarah gamelan pada masa Hindu Jawa tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan secara visual dan tidak dapat memberikan  keterangan yang akurat, demikian juga pada aktivitasnya. Kesenian gamelan merupakan salah satu kesenian masyarakat Jawa yang sudah ada sejak lama, dengan berbagai alat musik seperti kendang, kempul, dan gong.
Dan untuk sejarah peradaban agama islam, masjid pun dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam islam, yakni dengan dibangunnya masjid quba oleh Rasulullah saw sebagai masjid yang pertama. masjid quba ini merupakan karya spontan dari masyarakat muslim di madinah pada waktu itu. bangunan masjid quba disebut para ahli sebagai masjid arab asli. Namun kiranya, arti lebih luas adalah bahwa masjid quba telah menampilkan dasar pola arsitektur masjid yang lebih mengedepankan makna dan fungsi minimal yang harus terpenuhi dalam bangunan sebuah masjid.[2]
Sementara itu, sebelum islam masuk di jawa masyarakat jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli jawa maupun jenis bangunan seperti makam, candi keraton, benteng, meru, rumah joglo, tata wayang pada rumah, dan padepokan. Oleh karena itu, ketika islam masuk di jawa arsitektur jawa tidak dapat dinafikkan oleh islam. Jadi, agar islam dapat diterima sebagai agama orang jawa, maka simbol-simbol islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep jawa, sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim jawa dalam karya arsitektur.
Dari penjelasan diatas gamelan dan arsitektur memiliki macam jenisnya. Seperti halnya gamelan. Gamelan memiliki macam – macam jenis sebagai berikut:
1.      Gamelan kromong merupakan seni kesenian jenis goong renteng yang lebih dikenal oleh Cikubang Sumedang adalah gambang kromong. Yang dijadikan sebuah sarana ritual untuk menghormati atau memuja Dewi Sri, agar pertanian selalu subur dan tidak mengalami kegagalan. Ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat setempat dan tanggal 14 Maulid. Gambang kromong wajib dilestarikan karena memiliki nilai kearifan yang patut diwariskan, seperti gotong royong, kerja kolektif, kerjasama, tanggung jawab, toleransi dan menghargai orang lain.
2.      Gamelan Sekaten yang digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di Jawa diduga kuat memiliki nilai-nilai atau unsur-unsur Islam dalam perangkat tersebut yaitu sebagai salah satu kegiatan dari upacara ritualnya. Strategi dakwah dengan menggunakan gamelan Sekaten yang memiliki suara nyaring dan keras, bentuk fisik yang jauh lebih besar dari gamelan biasa, diperkirakan sangat menarik dan efektif untuk mengumpulkan orang
Banyak arsitektur jawa yang bercorak islam, dimana terjadi asimilasi diantara kedua kebudayaan, diantaranya :
1.      Masjid
Masjid sebagai tempat yang secara khusus untuk beribadah kepada Allah SWT, mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi umat Islam. Masjid juga digunakan untuk berdoa dan memohon kepada Allah atas segala sesuatu yang menjadi keinginan serta tujuan manusia.
Di berbagai tempat dimana Islam tumbuh, masjid telah menjadi bangunan penting dalam syiar Islam. Masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpaterai oleh ajaran Islam dan kebudayan lama yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat.[3]
Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan agama seseorang.Oleh karena itu, tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya pada masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya fisik yang lebih luas.
2.      Makam
Di Jawa makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, atau makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, dll.
Adapun untuk penempatannya ada yang menyatu dengan komplek masjid seperti sunan Kudus, makam Raden Patah. Bangunan makam Sunan Kudus yang arealnya dikelilingi bangunan yang berlapis-lapis mengingatkan kita pada bentuk bangunan kedhaton pada keraton jaman kerajaan Hindu dengan lawang korinya. Tampilnya berbagai seni hias dan stereotipe candi pada beberapa makam di Jawa menunjukkan adanya bukti interelasi budaya Jawa dan Islam dalam arsitektur makam.
Berikut terdapat tradisi penguburan jenazah yang didasarkan pada hadits Nabi:
a.       Kuburan lebih baik ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui (HR. Baihaqi)
b.      Membuat tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR. Abu Daud)
c.       Dilarang menembok kuburan (HR. Tirmidzi dan Muslim)
d.      Dilarang membuat tulisan diatas kubur (HR. An-Nasa’i)
e.       Dilarang membuat bangunan diatas kubur (HR. Ahmad danMuslim)
f.       Dilarang menjadikan kuburan sebagai masjid (HR. Bukhari dan Muslim)

3.      Tata Ruang Kota di Jawa
Sebagai kerajaan Islam di Jawa, Mataram yang merupakan kelanjutan dari penguasa kerajaan sebelumnya (Hindu Majapahit) memiliki tata bangunan kota yang sangat dipengaruhi oleh nilai lokal yang telah ada, dan tata nilai baru yang dibawa oleh Islam.
Dalam pemikiran Jawa, Keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan didalam keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warga masyarakat keraton dengan jagat raya itu. Dengan demikian, maka bangunan itu merupakan lambang yang penuh dengan arti. Pengaturan bangunan dilakukan dengan pola tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis, diapit oleh dua lainnya, yang terletak didepan dan dibelakangnya atau kanan dan kirinya. Pengapitan itu dapat berjumlah empat atau delapan yang ditempatkan sesuai dengan arah mata angin.
Konsep tata ruang seperti ini mengingatkan kepada penguasa/adipati/raja serta rakyat, bahwa rakyat harus taat kepada ulil amri dan ulil amri harus taat kepada Allah SWT serta memegang teguh amanat Allah SWT, dan kedunya harus sama – sama mengabdi dan beribadah kepada Allah dengan melakukan sholat.
Nilai-nilai pendidikan agama Islam yang ditransformasikan melalui media kesenian gamelan, arsitektur. Nilai-nilai pendidikan agama Islam tersebut disampaikan melalui kegiatan latihan dan pementasan kesenian shalawat yang diiringi alat musik gamelan, melalui perangkat gamelan itu sendiri, dan juga melalui syair - syair Islami yang dibawakan di masjid – masjid tempat walisongo menyebar agama islam.


4.                  Interelasi islam dalam wayang
Secara   harfiah,  kata   wayang,  berasal  dari   bahasa  Jawa   yang artinya   Bayangan.  Lebih   lanjut    lagi   wayang  adalah  rerupan   sing kedadeyan saka barang sing ketaman ing sorot (pepadhang)1. bayangan yang terjadi  karena adanya sorot  cahaya. Dalam  pertunjukan wayang yang dilihat hanya bayang-bayangnya saja,  inilah  yang  menyebabkan istilah wayang, permainan bayangan.
Wayang merupakan salah  satu  bentuk seni  budaya tradisional bangsa Indonesia yang  telah  tumbuh dan  berkembang selama lebih dari1000 tahun . Bukti  arkeologis bahwa wayang telah  berkembang selama itu adalah dengan ditemukannya sebuah prasasti peninggalan Raja Balitung (899 911 M) yang  berisi  kisah  Bima Kumara (ceritera tentang Bima  di  masa  muda), dalam teks  kuno  tersebut juga  disebutkan cerita seorang Dalang beserta upah  yang  diterimanya. Hingga saat  ini  seni pertunjukan  wayang  masih   tetap  berkembang, terutama  di  wilayah pedesaan.
Cerita   dalam wayang tumbuh  dan   berkembang  melalui jalur lisan   dan   tulisan.  Melalui  jalur   lisan   wayang  disebarkan  oleh   para dalang  dan   orang-orang  tua   yang    tahu    banyak  tentang  wayang. Sementara melalui jalur  tulisan wayang berkembang melalui berbagai serat seperti misalnya Serat Pakem Ringgit Purwa2. Sekitar  40 macam wayang terdapat di Indonesia, terutama Pulau Jawa. Bermacam-macam wayang tersebut dibedakan menurut carta pementasannya, cerita  yang  dibawakan, dan  menurut bahan yang digunakan  untuk  membuatnya. Sebagai   contoh  wayang  beber adalah wayang yang   cara   mementaskannya  dibeber atau   dipaparkan karena terbuat dari  lembaran kain.  Wayang gedhog adalah wayang yang  pada pementasannya  membawakan  cerita   Panji,  sedang wayang  golek atau
wayang kltihik adalah wayang yang  terbuat dari kayu  .3 Wayang yang  paling populer di Nusantara, khususnya di Jawa adalah wayang purwa atau  wayang kulit  purwa. Wayang kulit  purwa adalah  pertunjukan  wayang kulit   Jawa   yang   mengambil  cerita   dari zaman permulaan  atau   zaman purwa  (kuno).   Ada   juga  orang yang mengatakan bahwa purwa  berasal dari  kata  parwa  atau   parwan  yang berarti bagian, karena wayang purwa mengambil cerita  dari  cerita Mahabharata   yang   terdiri  atas   18  parwa   (bagian)[4].  Wayang  purwa mengambil cerita  dari  epos  Mahabharata  dan  Ramayana dengan banyak penyesuaian dengan budaya Jawa.  Menurut suatu penyelidikan, walau wayang sudah  ada   pada masa   raja  Balitung, namun  wayang  hanya digunakan untuk keperluan upacara saja, pertunjukan wayang pertama kali    ditampilkan   kepada   masyarakat  umum   pada   masa    zaman Airlangga  (1019      1037).   Raja   yang    mempopulerkan  pertunjukan wayang adalah  Sang  Prabu  Jayabaya  yang   memerintah tahun  pada tahun 1130 1160 M.[5] Pada  masa  ini wayang masih  terbuat dari  daun lontar. Wayang Purwa  mulai   menjadi  alat  dakwah Islam  pada masa Sunan Kalijaga.   Pada   tahun 1443  Sunan Kalijaga  mulai   menciptakan wayang dari  bahan kulit  kambing dan  diberi gapit   untuk pegangan. Oleh  Sunan Kalijaga  wayang dilengkapi dengan debhog (batang pisang) sebagai media untuk menancapkan wayang, kelir (layar),  dan  blencong (lampu). Di  sini  wayang dipakai sebagai alat  dakwah dalam menyampaikan  ajaran   Islam,[6]   sehingga  epos   asal   negeri  Hindustan tersebut juga mulai  mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai Islam.
Wayang purwa memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat  Jawa.   Bagi  masyarakat  Jawa,   wayang dipandang  bukan sebagai hiburan semata, namun juga  kaya  akan  nilai  kehidupan luhur yang  memberi suri tauladan. Wayang dianggap menunjukkan gambaran tentang watak jiwa  manusia. Orang Jawa  gemar mengidentifikasikan diri   mereka  dengan  tokoh    wayang  tertentu  dan   bercermin  serta mencontoh padanya dalam kehidupan sehari-hari.
                                             






                                              DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Donny Khoirul, AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA. Journal,  STAIN Purwokerto
Resi , Maharsi, Islam Melayu VS Jawa Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Amin, Darrori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002
Liauw Yoek  Fang  dalam Teguh. Moral Islam dalam Lakon Bima Suci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2007
Marsono.  Sunan  Kalijaga  Ulama  Besar  Abad  Ke 15-16  dalam  Jurnal Dakwah No.2 th. II, Januari  Juni 2001. Fakultas Dakwah, IAIN  Sunan Kalijaga Yogyakarta














[1]Donny Khoirul Aziz, AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA. Journal,  STAIN Purwokerto
[2]Maharsi Resi, Islam Melayu VS Jawa Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm.188

[3]Darrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002, hlm.187

4  Liauw Yoek  Fang  dalam Teguh. Moral Islam dalam Lakon Bima Suci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2007
5 ibid



[6]   Marsono.  Sunan  Kalijaga  Ulama  Besar  Abad  Ke 15-16  dalam  Jurnal Dakwah No.2 th. II, Januari  Juni 2001. Fakultas Dakwah, IAIN  Sunan Kalijaga Yogyakarta